Selamat pagi semua! Sesuai dengan rencana, hari ini kami akan ke Candi Borobudur untuk menghadiri perayaan Waisak di Candi Borobudur.
Supir kami akan tiba di penginapan jam 10:00 WIB. Sebagian dari kami bangun lebih pagi untuk bersiap-siap, dan ternyata sudah tersedia semangkuk besar nasi goreng di atas meja makan. Ada yang makan duluan, ada yang mandi duluan.
Perjalanan dari penginapan kami –yang berada di Taman Siswa– sampai ke Magelang menghabiskan waktu sekitar 1.5 jam. Kami lewat jalur selatan karena menurut supir kami jalur utara akan sangat macet sekali. Jalur utara digunakan untuk ritual Kirab oleh biksu dan umat yang membawa api abadi dan air berkah serta gunungan buah-buahan dan hasil bumi dari Candi Mendut ke Candi Borobudur.
Tiket masuk ke Candi Borobudur Rp 30.000,00. Di dalam area parkir Candi Borobudur terdapat banyak warung makanan dan kios suvenir. Selesai makan, kami masuk ke dalam kawasan Candi Borobudur.
Kami berjalan mengelilingi Candi Borobudur. Besar rasa kagum saya pada ukir-ukiran yang terdapat pada batu candi; perasaan lazim bagi orang yang pertama kali menginjakkan kaki di batu raksasa itu.
Dengan tidak sengaja, saya bertemu teman saya, Raymond Satria Dharmawan. Ia mengajak saya berkeliling menuju tenda-tenda majelis. Di dalam masing-masing tenda tersebut, terdapat umat-umat Buddha sedang menjalankan ritual keagamaannya masing-masing.
Saya baru tahu, kalau agama Buddha yang dulu saya anut adalah sekte Maitreya.
Sekitar jam 5 sore, loket penjualan lampion sudah sangat ramai dipenuhi oleh orang-orang yang mengantre. Sementara, sebagian besar orang berkumpul di karpet depan panggung utama. Karpet yang berwarna kuning itu seharusnya dijadikan tempat duduk bagi umat.
Saat itu langit mulai mendung, mulai gerimis, tapi tidak menyurutkan niat kami untuk tetap menunggu ritual pelepasan lentera. Sayangnya, kami masih harus menunggu Menteri Agama Indonesia dan Gubernur Jawa Tengah terlambat datang karena mereka harus pidato terlebih dahulu. Sorakan kekecewaan para pengunjung sudah mulai terdengar, tetapi operator tetap menghibur dengan kata-kata mutiara.
Kami menunggu beberapa jam, sampai akhirnya kedua orang itu datang juga. Mereka memberikan pidato di kala gerimis terus menggoda. Saat itu para pengunjung memang mulai geram, mungkin karena pidato mereka terlalu panjang dan bertele-tele. Ditambah lagi, Gubernur Jawa Tengah itu masih sempat-sempatnya berkampanye. Ada beberapa orang yang berteriak memaki dan suasana mulai ricuh.
Gerimis tidak juga kunjung berhenti. Prosesi dilanjutkan dengan ritual Pradaksina oleh para biksu dan bikuni yang mengitari Candi Borobudur sebanyak 3 kali bersama umat Buddha. Ini merupakan bentuk penghargaan tertinggi kepada Candi Agung ini.
Sehabis prosesi Pradaksina seharusnya ritual pelepasan lentera dimulai. Pelepasan 1000 lentera yang menjadi alasan utama saya datang ke Jogjakarta; lampion yang dipercaya sebagai lambang harapan dan doa yang diterbangkan untuk disampaikan kepada Tuhan.
Panitia mengumumkan bahwa pelepasan lampion akan ditunda sampai 30 menit sampai hujan reda.
Sayangnya.. karena alasan cuaca, ritual pelepasan itu dibatalkan. Tak hanya saya, semua pengunjung juga pasti juga merasakan hal yang sama seperti saya. Ada yang marah dan ada sebagian orang yang pergi meninggalkan candi. Mata saya terbelalak, di tengah karpet yang ditinggalkan oleh pengunjung, terlihat banyak sampah yang berserakan. Dan di saat saya menengok ke arah panggung utama, banyak orang yang berebut naik. Suasana sangat kacau.
––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
Sekembalinya kami ke Jakarta, saya membaca beberapa berita yang menuliskan bahwa banyak pengunjung yang tidak tertib sehingga mengganggu jalannya proses ibadah. Iya, memang begitulah adanya.
Tapi di sini saya berusaha berada pada pihak yang netral. Saat itu, panitia –yang dipegang oleh Walubi– dan petugas keamanan –yang diserahkan pada kepolisian setempat– memang kurang ketat. Saya masih menerka, mungkin maksud mereka adalah untuk membebaskan para pengunjung yang ingin mengikuti acara seremonial umat Buddha itu.
Tidak ada yang perlu disesalkan, karena memang sudah terjadi. Logisnya, kita harus bersikap lebih bijaksana, toleransi antar umat beragama, dan yang lebih penting, kita harus menghargai nilai luhur.
––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
Kami pulang di hari ketiga, kami ditipu oleh dua orang sopir taksi yang meng-charge kami dengan harga asal-asalan. Mungkin saya harus mempertimbangkan kembali kata orang-orang kalau orang Jogja itu orang yang baik. Tidak ada orang yang baik.
Terima kasih untuk keseluruh teman saya, sampai akhirnya liburan singkat ini dapat terwujud :)
No comments:
Post a Comment