Pages

5/27/2013

Togetherness: Jogjakarta, Hari #2

Selamat pagi semua! Sesuai dengan rencana, hari ini kami akan ke Candi Borobudur untuk menghadiri perayaan Waisak di Candi Borobudur.

Supir kami akan tiba di penginapan jam 10:00 WIB. Sebagian dari kami bangun lebih pagi untuk bersiap-siap, dan ternyata sudah tersedia semangkuk besar nasi goreng di atas meja makan. Ada yang makan duluan, ada yang mandi duluan.

Perjalanan dari penginapan kami –yang berada di Taman Siswa– sampai ke Magelang menghabiskan waktu sekitar 1.5 jam. Kami lewat jalur selatan karena menurut supir kami jalur utara akan sangat macet sekali. Jalur utara digunakan untuk ritual Kirab oleh biksu dan umat yang membawa api abadi dan air berkah serta gunungan buah-buahan dan hasil bumi dari Candi Mendut ke Candi Borobudur.


Tiket masuk ke Candi Borobudur Rp 30.000,00. Di dalam area parkir Candi Borobudur terdapat banyak warung makanan dan kios suvenir. Selesai makan, kami masuk ke dalam kawasan Candi Borobudur.



Kami berjalan mengelilingi Candi Borobudur. Besar rasa kagum saya pada ukir-ukiran yang terdapat pada batu candi; perasaan lazim bagi orang yang pertama kali menginjakkan kaki di batu raksasa itu.


Dengan tidak sengaja, saya bertemu teman saya, Raymond Satria Dharmawan. Ia mengajak saya berkeliling menuju tenda-tenda majelis. Di dalam masing-masing tenda tersebut, terdapat umat-umat Buddha sedang menjalankan ritual keagamaannya masing-masing.



Saya baru tahu, kalau agama Buddha yang dulu saya anut adalah sekte Maitreya.



Sekitar jam 5 sore, loket penjualan lampion sudah sangat ramai dipenuhi oleh orang-orang yang mengantre. Sementara, sebagian besar orang berkumpul di karpet depan panggung utama. Karpet yang berwarna kuning itu seharusnya dijadikan tempat duduk bagi umat.


Saat itu langit mulai mendung, mulai gerimis, tapi tidak menyurutkan niat kami untuk tetap menunggu ritual pelepasan lentera. Sayangnya, kami masih harus menunggu Menteri Agama Indonesia dan Gubernur Jawa Tengah terlambat datang karena mereka harus pidato terlebih dahulu. Sorakan kekecewaan para pengunjung sudah mulai terdengar, tetapi operator tetap menghibur dengan kata-kata mutiara.

Kami menunggu beberapa jam, sampai akhirnya kedua orang itu datang juga. Mereka memberikan pidato di kala gerimis terus menggoda. Saat itu para pengunjung memang mulai geram, mungkin karena pidato mereka terlalu panjang dan bertele-tele. Ditambah lagi, Gubernur Jawa Tengah itu masih sempat-sempatnya berkampanye. Ada beberapa orang yang berteriak memaki dan suasana mulai ricuh.

Gerimis tidak juga kunjung berhenti. Prosesi dilanjutkan dengan ritual Pradaksina oleh para biksu dan bikuni yang mengitari Candi Borobudur sebanyak 3 kali bersama umat Buddha. Ini merupakan bentuk penghargaan tertinggi kepada Candi Agung ini.

Sehabis prosesi Pradaksina seharusnya ritual pelepasan lentera dimulai. Pelepasan 1000 lentera yang menjadi alasan utama saya datang ke Jogjakarta; lampion yang dipercaya sebagai lambang harapan dan doa yang diterbangkan untuk disampaikan kepada Tuhan.

Panitia mengumumkan bahwa pelepasan lampion akan ditunda sampai 30 menit sampai hujan reda.

Sayangnya.. karena alasan cuaca, ritual pelepasan itu dibatalkan. Tak hanya saya, semua pengunjung juga pasti juga merasakan hal yang sama seperti saya. Ada yang marah dan ada sebagian orang yang pergi meninggalkan candi. Mata saya terbelalak, di tengah karpet yang ditinggalkan oleh pengunjung, terlihat banyak sampah yang berserakan. Dan di saat saya menengok ke arah panggung utama, banyak orang yang berebut naik. Suasana sangat kacau.

––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––

Sekembalinya kami ke Jakarta, saya membaca beberapa berita yang menuliskan bahwa banyak pengunjung yang tidak tertib sehingga mengganggu jalannya proses ibadah. Iya, memang begitulah adanya.

Tapi di sini saya berusaha berada pada pihak yang netral. Saat itu, panitia –yang dipegang oleh Walubi– dan petugas keamanan –yang diserahkan pada kepolisian setempat– memang kurang ketat. Saya masih menerka, mungkin maksud mereka adalah untuk membebaskan para pengunjung yang ingin mengikuti acara seremonial umat Buddha itu.

Tidak ada yang perlu disesalkan, karena memang sudah terjadi. Logisnya, kita harus bersikap lebih bijaksana, toleransi antar umat beragama, dan yang lebih penting, kita harus menghargai nilai luhur.

––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––


Kami pulang di hari ketiga, kami ditipu oleh dua orang sopir taksi yang meng-charge kami dengan harga asal-asalan. Mungkin saya harus mempertimbangkan kembali kata orang-orang kalau orang Jogja itu orang yang baik. Tidak ada orang yang baik.


Terima kasih untuk keseluruh teman saya, sampai akhirnya liburan singkat ini dapat terwujud :)

5/26/2013

Togetherness: Jogjakarta, Hari #1

Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Hari ini, tanggal 23 Mei 2013, kami akan pergi ke Jogjakarta.


Dari awalnya rencana berpergian berempat belas, kini hanya ada sepuluh orang yang akan pergi bersama. Saya, Cendy, Niscaya, Anissa, Dinar, Cindra, Kias, Sesotya, Daniel, dan Gary. Kami akan bertemu dengan Koko (pacarnya Nisa), Riko, dan Anindya (pacarnya Riko) di Jogja nanti.

Mungkin saya satu-satunya orang yang baru pertama kali ke Jogjakarta.

Kereta kami berangkat jam 22:00 WIB dari Stasiun Pasar Senen dan sampai di Stasiun Lempuyangan jam 07:00 WIB. Kami dijemput oleh supir dengan 2 mobil Avanza yang sudah kami charter sebelumnya, dengan tarif Rp 225.000,00/hari/mobil+supir.

Sugeng rawuh..


Sesampainya di Jogjakarta, kami berencana untuk cave tubbing. Tapi sebelumnya, kami sarapan dulu di Restoran Bukit Bintang. Di restoran ini kami bisa melihat Gunung Merapi dari kejauhan. Indah sekali.


Setelah kami menyelesaikan sarapan kami, tanpa berlama-lama lagi, kami langsung menuju Kalisuci. Kami tiba di sana sekitar pukul 11:00 WIB. Biaya yang dibutuhkan untuk cave tubing adalah Rp 65.000,00. Tapi karena kami bersebelas, kami hanya cukup membayar Rp 650.000,00.

Saya tidak dapat menunjukkan foto cave tubbing karena kamera saya tidak kedap air.

Cave tubbing dilakukan menggunakan ban pelampung untuk menelusuri sungai di bawah tanah. Dengan ditemani oleh 3 orang pemandu, kita akan melihat betapa indahnya harmonisasi antara air sungai yang kehijauan dan tebing karst yang kecoklatan. Tidak hanya itu, gua yang gelap dimana banyak kelelawar yang berterbangan di atap gua menambah sensasi petualangan. Klik di sini untuk informasi lebih lanjut.

Kami duduk pasrah di atas ban dan mengikuti arus sungai. Suasana memuncak ketika kami berputar-putar karena menghadapi arus yang deras dan sering juga kami berusaha menggapai tangan teman kami supaya tidak terpisah.

Tentu kami mengabadikan moment yang menyenangkan ini dengan banyak berfoto. Sampai akhirnya ketika kami tiba di ujung track, kami masih harus menaiki tangga yang cukup curam dan melelahkan. Tapi semua itu terbayar ketika kami disuguhkan semangkuk Indomie Ayam Bawang beserta telur mata sapi dan teh hangat. Setelah kami selesai makan, kami berbersih diri dan bergegas ke penginapan.


Penginapan kami bernama House of Chandra yang beralamatkan di Jalan Manuk Beri MG II No. 957 Kav B2, Taman Siswa. Rumah ini didominasi dengan cat berwarna pink di seluruh temboknya. Adapun fasilitas yang disediakan untuk kami adalah: 3 kamar tidur, 2 kamar mandi, ruang tamu, ruang tengah, ruang makan terbuka, dapur, mesin cuci beserta jasa loundry, AC dan TV di setiap kamar, 1 buah sofa bed di ruang tengah, dan Wi-Fi. Di sana juga tersedia pembantu rumah tangga yang senantiasa membantu kami.

Kami tidak punya rencana khusus setelah ini. Tapi kalau kata orang-orang yang pernah ke Jogjakarta, belum afdol rasanya kalau belum ke Malioboro dan makan gudeg khas Jogja.


Sesampainya kami di Malioboro, saya sungguh tidak dapat menahan diri. Bagaimana tidak, di sepanjang Jalan Malioboro, terdapat banyak sekali stall yang menjual baju dan souvenir. Perjalanan kami yang kami sebut-sebut sebagai perjalanan Togetherness ini diabadikan dalam sebuah customized keychain.

Setelah puas berbelanja, perhentian kami berakhir di Gudeg Yu Djum di Jalan Kaliurang atas rekomendasi dari Niscaya Puri untuk mengisi perut kosong kami. Kami naik 2 andong dari Malioboro ke sini dengan tarif Rp 55.000,00.



Selamat malam semua! Sekarang kami harus pulang dan tidur, karena besok pagi jam 10:00 WIB, kami akan dijemput oleh supir kami untuk ke Candi Borobudur!